Tips Memilih Sekolah untuk Anak

oleh
Getty Images/iStockphoto/evgenyatamanenko
Getty Images/iStockphoto/evgenyatamanenko

Dalam perjalanan mudik ke kampung halaman, saya dan anak banyak berbincang di dalam kereta. Ia memperhatikan nama stasiun setiap kali kereta berhenti, lalu bertanya, dari mana nama stasiun itu diambil? Dari nama desa, kota, kecamatan, atau apa?

Lain waktu dia juga pernah bertanya, tetangga kami yang Pak Lurah itu memimpin kelurahan mana, dan sebesar apa kelurahan itu. Pertanyaan itu terlihat sederhana, tapi kita semua tahu anak-anak punya manuver mengubah pertanyaan sederhana menjadi pertanyaan luar biasa rumit dalam waktu singkat. Saya tentu harus menghindari momen-momen menegangkan itu.

Saya katakan menegangkan karena sejarah hubungan saya dengan pengetahuan geografi dan kemampuan spasial yang tidak begitu baik. Semasa SMP saya mendapat nilai 3 dari skala 10 untuk mata pelajaran geografi. Baru-baru ini, saya di-blacklist oleh teman untuk tidak lagi duduk di sampingnya saat berkendara karena menjadi penyebab ia nyasar sebanyak tiga kali, meski di tangan saya tergenggam panduan peta digital.

Memang teman saya itu agak kejam. Begitulah, maka pertanyaan anak saya yang sederhana tadi saya beri jawaban yang lebih sederhana lagi: “Coba tanya Papa.”

Sayangnya kemarin kami pulang berdua, tanpa Papanya. Mau tidak mau, saya harus mengalami juga momen-momen menegangkan itu. Pada momen itulah, saya lalu teringat keriuhan di Twitter beberapa waktu lalu, tentang ibunda Maudy Ayunda yang segera memindahkan anaknya ke sekolah lain begitu tahu bahwa di sekolah, si anak diminta menghafalkan nama-nama kecamatan.

Saya lantas bertanya-tanya, apa ya yang menyebabkan ibunda Maudy mengambil keputusan itu? Mana yang tidak cocok, metode hafalannya atau materi kecamatannya?

Meski mendapatkan nilai buruk, saya merasa pengetahuan geografi penting dan perlu dipelajari. Geografi lebih dari sekadar pengetahuan tentang nama-nama kecamatan, negara, dan benua. Ia memungkinkan kita mempelajari alam dan fenomenanya, serta mampu memprediksi kemungkinan-kemungkinan pada masa depan. Keuntungan jangka pendeknya, setidaknya mampu menjaga harkat dan martabat kita sebagai orangtua dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anak. Hehehe.

Jika metodenya yang jadi masalah, maka saya sepakat. Lebih dari 20 tahun berlalu, masa-masa ngomong sendiri di rumah untuk menghafalkan materi pelajaran, masih saya ingat dengan jelas. Anehnya, materi yang waktu itu saya hafal justru tak terekam sama sekali. Entah ingatan itu tersimpan dengan begitu rapi sehingga sulit untuk muncul lagi pada saat-saat yang diperlukan, atau malah tak tersimpan sama sekali. Saya tidak tahu apakah ini bisa dibilang pengalaman yang traumatis atau bukan.

Yang jelas, saya menduga pengalaman-pengalaman demikian memiliki andil untuk belum menyekolahkan anak saya ke sekolah formal, setidaknya hingga saat ini. Sebaliknya, saya juga tidak punya alasan kuat untuk menjadi wali murid di sana. Terutama karena tidak tersedianya metode belajar selain menghafal, seolah-olah semua pengetahuan bisa terserap hanya dengan dihafal.

Setelah mencoba belajar geografi (karena harus mengenalkannya kepada anak), saya merasa geografi akan lebih menyenangkan dan mudah diingat dengan melakukan praktik, seperti membuat peta atau berkeliling kota menggunakan transportasi publik. Dibandingkan dihafalkan di dalam kelas, barangkali geografi akan lebih mudah dipahami jika dipelajari di alam terbuka.

Namun, tidak dipungkiri ada juga pengetahuan lain yang memerlukan metode hafalan. Bagi para santri misalnya, menghafal masih jadi metode yang mudah, cepat, dan banyak dipakai untuk menjadi hafidz dan hafidzah. Banyak ayat dan hadis yang perlu dihafalkan terlebih dulu sebelum dipelajari kandungannya. Dalam hal ini, menghafal justru membantu pengetahuan tersebut diserap dengan lebih baik.

Menghafal juga dibutuhkan bagi para siswa kedokteran dan farmasi. Berbagai nama obat dan zat yang terkandung di dalamnya, ribuan jenis penyakit dan anatomi tubuh manusia perlu dihafal untuk mendukung tugas mereka sebagai problem solver bagi setiap pasien yang datang. Meski barangkali ribuan nama tersebut tidak semuanya dihafal dalam waktu bersamaan, namun menghafal tidak bisa dilepaskan begitu saja dari metode belajar tersebut.

Metode hafalan memiliki kesesuaian dengan pengetahuan yang satu, dan pada saat yang sama memiliki ketidaksesuaian dengan pengetahuan yang lain. Pendeknya, metode hafalan tidak cocok diterapkan untuk semua jenis mata pelajaran, tidak pula untuk semua anak sebab setiap individu memiliki jenis kecerdasan dan kecenderungan belajar yang berbeda.

Maka, saya hanya mampu mesam-mesem ketika berita Maudy dan ibunya menggelinding menjadi diskusi soal mana sekolah terbaik. Terkadang karena menertawakan keputusan orang lain yang saya pikir gegabah, tapi lebih sering karena menertawakan keputusan diri sendiri yang gegabah.

Meski kadang bimbang dan ragu di tengah jalan, sebagai orangtua, saya yakin keputusan apapun yang kita ambil bukanlah keputusan yang lahir dalam semalam. Ia merupakan hasil dari refleksi kita saat menjadi anak, ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita dapatkan pada masa dewasa.

Begitu pula dengan keputusan memilih sekolah untuk anak. Kebanyakan dari kita mengalami masa sekolah selama 12 tahun, atau paling sedikit 6 tahun. Waktu sepanjang itu, saya rasa lebih dari cukup untuk mengumpulkan berbagai pengalaman sebagai siswa. Kelak ketika menjadi orangtua, pengalaman itu akan menjadi refleksi, bahkan pijakan untuk mengambil keputusan.

Bagi saya sendiri, pengalaman tersebut ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan baru tentang sekolah yang dipelajari kemudian membuat saya ingin mengenalkan beragam metode belajar lainnya kepada anak. Salah satunya, dengan mengajaknya memilih sekolah. Orangtua lain, dengan latar belakang dan juga preferensi yang beragam semestinya akan menghasilkan keputusan yang berbeda pula.

Itu sebabnya, menurut saya, tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan seperti apa sekolah yang terbaik. Yang terbaik untuk anak saya bisa jadi bukan yang terbaik untuk anak tetangga. Sebaliknya, yang dipilih oleh orang lain barangkali tidak sesuai bagi keluarga saya. Karenanya, sekolah terbaik adalah sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak dan selaras dengan nilai-nilai keluarga. Maka sebelum mencari kriteria sekolah terbaik, kebutuhan anak dan nilai keluarga seharusnya menjadi panduan pertama bagi orangtua dalam memilih sekolah, bukan sebaliknya.

Alih-alih menanyakan sekolah apa yang terbaik, semestinya kita bertanya sudahkah kita mengenali nilai-nilai keluarga dan kebutuhan anak-anak kita? Jangan-jangan kita terlalu sibuk diskusi sana-sini hingga terasing dengan keluarga sendiri.

 

Baca artikel detiknews, “Memilih Sekolah Terbaik untuk Anak” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6275095/memilih-sekolah-terbaik-untuk-anak.

No More Posts Available.

No more pages to load.