SEMARANG – Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan bersejarah yang berada di daerah Semarang.
Dibangun pada zaman kolonial Belanda sekitar tahun 1900-an serta menjadi saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari.
Lawang Sewu dalam istilah jawa memiliki arti yang terdiri dari lawang atau pintu dan sewu yg berarti seribu.
Sehingga Lawang Sewu memiliki arti seribu pintu, meskipun faktanya bangunan tersebut hanya memiliki 928 pintu.
Pada masa awal pembangunannya, lawang sewu merupakan kantor administrasi kereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Pembangunan diawali oleh seorang arsitek asal Belanda bernama Ir. P. De Rieu, yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada 1900 yang sekarang dinamai gedung C.
Setelah Ir. P. De Rieu meninggal, kemudian digantikan oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag untuk melanjutkan pembangunan.
Mereka mengerjakan gedung A pada Februari 1904 dan selesai pada Juli 1907 yang menjadi kantor utama NIS pada saat itu.
Gedung B, D, dan E dibangun pada 1916-1918 seiring dengan berkembangnya kantor kereta api Belanda.
Gedung B masih dibangun oleh Prof. J Klinkhamer dan B. J. Oundag. Selanjutnya gedung D dan E dibangun oleh Thomas Karsten.
Ia menjadi arsitek termuda dan juga terakhir yang merancang pembangunan gedung Lawang Sewu.
Batu bata keramik berwarna oranye pada lawang Sewu melambangkan kasta tertinggi yang juga kemakmuran serta kekayaan.
Pada zaman dahulu batu bata yang digunakan tersebut tergolong langka dan memiliki harga yang cukup tinggi untuk perbuahnya.
Alasan Lawang Sewu dibuat dengan banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udara semakin baik, namun juga berkaitan dengan kasta.
Pada 1942, selepas masa kolonial Belanda, Lawang Sewu menjadi markas tentara jepang sekaligus kantor transportasi bernama Ryuku Sokyoku.
Pada 15 sampai 19 Oktober 1945, terjadi pertempuran yang melibatkan Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) melawan prajurit Jepang.
Tewasnya Dr. Kariadi yang merupakan dokter paling handal saat itu merupakan salah satu pencetusnya.
Prajurit Jepang berlindung di dalam kawasan Lawang Sewu, sedangkan AMKA berada di Wilhelminaplein yang sekarang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.
Walaupun dari segi jumlah prajurit AMKA dinilai lemah, namun dengan semangat dan pantang menyerah mereka terus melawan, walaupun pada akhirnya harus kalah dan gugur.
Hal tersebut membuat kawasan Wilhelminaplein di jadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang gugur, namun kemudian jasadnya di pindahkan ke Makam Giri Tunggal.***
Artikel ini telah tayang di : https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-015214715/sejarah-lawang-sewu-bangunan-yang-jadi-saksi-bisu-pertempuran-lima-hari-di-semarang?page=3