Sinopsis Film: All Quiet on the Western Front, Prajurit Jerman yang Mati Sebelum Gencatan Senjata

by -525 Views
Jerman Utara, Musim Semi 1917
Perang dan damai adalah dua topik utama dalam kajian hubungan internasional pada awal berdirinya sebagai sebuah disiplin ilmu tahun 1919. Pada masa itu bertepatan dengan berakhirnya perang dunia I. Momentum perang menjadi bahan refleksi untuk memikirkan solusi kehidupan dunia yang lebih baik. Perang diyakini lahir dari sebuah ego manusia untuk memaksakan kepentingannya sehingga bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Perang dunia I dikenal sebagai salah satu bencana besar peradaban manusia pada zaman modern. Perang tersebut berlangsung empat tahun sejak 1914 sampai dengan 1918 dan menelan korban jiwa lebih dari 17 juta manusia. Sebuah tragedi memilukan yang disebabkan oleh jiwa bengis manusia yang menjadi serigala atas sesamanya. Sejarah perang kemudian dipelajari melalui berbagai media antara lain melalui kisah yang ditulis ulang maupun diceritakan dalam sebuah film.
Salah satu film yang mengupas satu sisi perang dunia I adalah film yang berjudul All Quiet on the Western Front. Sebuah film perang yang berbahasa Jerman dan menggambarkan mozaik perang yang berlangsung di garis depan perbatasan. Sejarah tersebut dikenal dengan perang parit. Suasana perang yang terjadi menggambarkan begitu banyak hal absurd dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan berperang.
Perang biasanya terjadi ketika negara merasa berkuasa dan memiliki kekuatan untuk menguasai negara lain. Salah satu dialog dalam film tersebut menyatakan;
Artinya bahwa kondisi perang terjadi ketika dua belah pihak sama-sama merasa mampu mengalahkan satu sama lain.
Cerita perang dimulai ketika Paul Baumer dan kawan-kawannya mendaftar sebagai prajurit perang secara sukarela. Mereka adalah remaja berusia belasan tahun menjelang dua puluhan. Pilihan menjadi prajurit sebenarnya bukan pilihan sadar karena ada andil dari guru mereka membangkitkan euforia nasionalisme yang pada akhirnya membangkitkan semangat darah muda dalam diri mereka.
Retorika mainstream untuk menstimulasi dan meningkatkan rasa nasionalisme seluruh rakyat. Mereka ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukan adalah sebagai sebuah tindakan mengejar kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang besar.
Pada dasarnya, film tersebut juga menggambarkan bahwa para remaja yang ikut dalam perang memiliki alasan yang berbeda. Ada yang ingin dianggap keren sehingga ketika pulang mereka bisa dengan mudah menikah, ada yang kemudian ingin membuktikan kepada ibunya bahwa dia bisa menjadi seorang prajurit dan tetap survive.
Motif yang mendorong mereka maju ke medan perang kemudian sirna secara mendadak ketika melihat suasana dalam perang. Tidak ada lagi perasaan keren dalam perang selain insting sebagai manusia pada umumnya untuk mempertahankan hidupnya.
Paul kemudian lebih sering berpikir dan merefleksikan apa yang terjadi. Perang tentunya bukan menjadi sebuah pilihan rasional bagi seorang remaja seperti Paul. Seharusnya dia memilih jalan lain untuk menjalani hidup yang lebih berarti, bukan dengan membunuh manusia lain sekadar untuk membela negaranya.
Satu persatu teman-temannya meninggal tertembak di depan matanya dengan kondisi tubuh yang hancur. Meskipun demikian, Paul tetap harus berada di medan perang dan berusaha membunuh musuhnya sekaligus berperang dengan segala kecamuk dalam hati nuraninya.
Hal yang paling berat adalah berperang melawan diri sendiri. Manusia normal tidak akan tega membunuh manusia lain bahkan ketika dalam peperangan sekalipun. Mereka membunuh hanya karena dorongan naluriah untuk tetap hidup karena jika tidak membunuh, mereka yang terbunuh. Demikianlah perang, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tetapi menjadi candu bagi manusia.
Dalam satu kesempatan, Paul terjebak di kubangan kemudian seorang musuh datang ingin menembaknya. Alhasil sebelum menembak, sebuah ledakan terjadi tepat di samping musuhnya dan membuatnya jatuh di kubangan yang sama. Keduanya berhasrat saling membunuh. Paul berhasil meraih sebuah bayonet lalu menikam musuhnya berkali-kali tepat di jantungnya. Musuhnya tidak lantas tewas namun masih mengeluarkan bunyi seperti orang ngorok yang menyiksa nurani Paul.
Melihat musuhnya sekarat, Paul berusaha untuk menyelamatkannya dengan memberi air namun tidak tertolong. Paul menemukan foto anak istri musuhnya di dalam saku bajunya yang akhirnya semakin mencabik-cabik hati nuraninya.
Mereka adalah manusia yang sama dan hanya korban dari praktik politik para penguasa yang menjebak mereka dalam medan perang. Paul melihat realitas sebenarnya bahwa dia sama sekali tidak melawan orang lain dalam medan perang tetapi melawan dirinya dalam wujud orang lain. Manusia yang sama-sama ingin tetap survive agar bisa kembali kepada keluarga mereka.
Diplomasi antara Jerman dan Perancis ketika perang parit di front barat, selalu mengalami kebuntuan sehingga korban semakin berjatuhan. Pertimbangan para pemimpin negara tidak pada berapa manusia yang meregang nyawa di medan perang namun kalkulasinya adalah bagaimana memenangkan perang untuk membanggakan negaranya.
Gencatan senjata akhirnya disepakati pada bulan 11 tanggal 11, dan jam 11. Seharusnya para prajurit merayakan kesepakatan tersebut sebagai sebuah sinyal kepulangan mereka ke rumah, namun tidak demikian dengan penguasa. Beberapa jam sebelum masuk jam 11, pemimpin Jerman tidak ingin kehilangan muka sehingga memaksa semua prajurit yang tersisa untuk menyerbu garis pertahanan lawan. Prajurit yang menolak berperang untuk terakhir kalinya akhirnya ditembak mati.
Paul dan semua prajurit maju ke front barat untuk terakhir kalinya. Pertempuran berlangsung secara sengit 15 menit sebelum jam 11. Korban jiwa tergeletak di sekitar parit. Paul yang mengejar musuhnya sampai di bunker 2, harus meregang nyawa beberapa menit sebelum gencatan senjata dimulai.
Perang benar-benar sebuah tragedi memilukan bagi kemanusiaan karena hanya dengan memperebutkan beberapa ratus meter wilayah, harus mengorbankan lebih dari 3 juta jiwa prajurit melayang. Ironi sekaligus menyedihkan, namun begitulah manusia, bisa menjadi begitu tidak masuk akal dalam melakukan kerusakan di bumi ini untuk memuaskan dahaga ego mereka.
Kemudian setelah perang, apakah ada pihak yang menang? Ternyata tidak. Konsep menang hanya statistik berapa serdadu yang masih hidup namun secara psikologis, semua pihak kalah dengan mengorbankan hati nuraninya menghancurkan kehidupan yang lain. Tidak ada yang lebih kejam daripada melihat kemanusiaan berada pada titik nadir.
Perang memang absurd.
Banyak sekali momen absurditas yang terjadi dari potongan film, misalnya prajurit yang menolak ikut perang untuk terakhir kalinya harus meregang nyawa ditembak mati oleh pemimpin mereka sedangkan mereka yang ikut perang terakhir pun meninggal di tangan musuh. Menolak atau ikut juga tetap saja meninggal. Absurditas lain ketika salah serdadu, Kat, tidak meninggal saat perang berlangsung namun meninggal oleh tembakan senapan anak petani karena mencuri angsa.
Ajal memang misterius, menjemput manusia pada situasi yang sama sekali tidak terduga. Seorang tentara yang sudah berperang sekian kali tidak meninggal di medan perang namun ternyata meninggal hanya dengan satu butir peluru oleh seorang bocah anak petani yang merasa terganggu karena hewan peliharaannya dicuri. Kematian yang terus membayangi di situasi perang, ternyata datang ketika pada kondisi yang dianggap aman-aman saja.
Secara umum, film tersebut memberikan penonton pesan yang mendalam tentang sebuah fragmen situasi perang yang menyeramkan. Situasi di mana pikiran para serdadu tidak lagi tentang bagaimana memenangkan perang, tetapi seminimal mungkin, bagaimana tetap hidup untuk kembali ke rumah mencium kening anak dan istri.
Perang diselesaikan hanya dengan beberapa lembar kertas beserta tanda tangan penguasa kedua negara. Setelah itu, semua kondisi seperti semula namun tidak dengan kemanusiaan. Sisa-sisa perang akan meninggalkan luka sepanjang sejarah peradaban manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.